Feminis Salah Kaprah

 


 “Karakter Aku adalah pejuang pergerakan perempuan. Esensi dari pergerakan perempuan adalah agar perempuan mempunyai otoritas atas badan dan pilihan mereka sendiri.”
@arawinda2709


Salah satu cuitan Arawinda Kirana di laman Twitternya yang di blow up kembali oleh netizen Indonesia. Bukan tanpa sebab, melainkan adanya isu perselingkuhannya dengan seorang dokter yang sudah beristri. Bahkan di antara rumor yang menyebar, ia dan selingkuhannya, yang diketahui bernama Guiddo Purba, sudah berhubungan seksual di mana tindakan ini tidak ditoleransi lagi dalam norma-norma masyarakat kita. Akibatnya, banyak sekali teguran dari netizen sebagai bentuk sanksi sosial yang ditujukan untuk dirinya hingga menjadikannya trending topik di Twitter.

Sebagai aktris dan aktivis yang menyuarakan hak perempuan akan lebih baik jika apa yang ia lakukan di kehidupan pribadinya sejalan dengan ideologi yang ia sampaikan di muka publik. Menjadi feminis tidak hanya speak up untuk menyuarakan hak perempuan lain tapi juga untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak bertindak menyimpang dari apa yang dikampanyekan. Pram mengingatkan melalui kalimatnya dalam Bumi Manusia bahwa seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Kalimatnya ngga panjang tapi pesannya dalam.

Di samping itu, Feminisme membantu saya memahami diri saya sebagai perempuan (Lianawati, 2020). Feminisme menjadi pergerakan untuk membebaskan perempuan dari ketidakmampuannya bebas dari persepsi masyarakat, mengambil keputusan, dan mendengarkan suara hati atas pilihan-pilihan dalam hidupnya. Memiliki kuasa atas tubuh sendiri merupakan salah satu upaya melek feminis dan sadar bahwa ia berhak mengendalikan tubuhnya. Namun, apakah ini dibenarkan apabila kuasa yang ia punya digunakan untuk berhubungan seksual dengan suami orang lain?

Saya yakin jawabannya tidak. Dalam pandangan Spielrein, perempuan mampu memahami, merasakan serta berempati pada pengalaman perempuan lain. Dengan empati yang kuat, kita dapat menemukan aspek-aspek psikis yang orang lain rasakan dan mengakuinya bahwa perasaan mereka valid meski kita belum mengalaminya sendiri.

Oleh sebab itu, seharusnya Arawinda lebih bisa membuka cakrawala pemikirannya tentang bagaimana role feminis dalam diri sendiri dan bermasyarakat. Jika nilai-nilai feminis yang ia pegang tidak mampu membuatnya berperilaku atas kuasa tubuhnya dengan benar, maka dianjurkan untuk melihat dari sudut psikologi feminis di mana empati yang Spielrein sebutkan bisa membuatnya berpikir dan mencegah agar tidak terjadi perselingkuhan. Apalagi jika ia sudah lebih dulu mengenal teori Spielrein, mungkin saja ia akan sangat berempati dengan korban-korban perselingkuhan yang kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Saat ini, mungkin saja ia lupa bahwa perilakunya melukai esensi pergerakan itu sendiri sambil mengklarifikasi, “Maaf, saya khilaf.” 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGETIRAN DI BALIK NOVEL SAMAN | REVIEW NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI

HIDUP SENDIRIAN JADI TREN DI KOREA LHO ! | REVIEW BUKU HONJOK - SENI HIDUP SENDIRI

Resensi Buku Reclaim Your Heart Karya Yasmin Mogahed [pitreview]